Bangunan yang bergaya khas tradisional Tionghoa kali ini sering saya lewati saat pergi ke pantai di Jalan Ikan Kakap nomor 35, Teluk Betung Selatan, Kota Bandar Lampung. Tepatnya bangunan khas Tionghoa klasik ini berada di depan toko Pusat Produk Oleh Oleh Khas Lampung. Akan tetapi, saya masih belum berani untuk berhenti dan mengunjunginya seorang diri. Mungkin karena saya merasa tidak enak dan takut mengganggu dengan latar belakang agama yang berbeda. Hingga akhirnya karena ada seseorang yang menemani saya mengunjungi bangunan vihara, saya pun memutuskan untuk singgah sebentar di vihara ini. Apalagi saya sebagai pecinta drama kolosal China dan budaya China, sungguh sangat tertarik dan senang sekali jika bisa mengunjunginya. Alhasil, ternyata gege dan jie jie yang menjaga sangat ramah ramah, mereka memperbolehkan kami masuk bersama orang yang hendak bersembahyang.
Menurut cerita yang beredar, pada tahun 1850 Po Heng menuju ke Lampung dengan membawa patung dewi Kwan Im. Kedatangannya disambut baik oleh masyarakat. Kemudian masyarakat bersama sama membangun cetya yang bernama Avalokitesvara atau Cetya Kwan Im Tong yang berada di Teluk Betung Selatan berjarak sekitar 700 meter dari vihara saat ini. Mereka membangun untuk sembahyang. Sayangnya tahun 1883 dikarenakan letusan Gunung Krakatau, cetya tersebut hancur. Kemudian tahun 1896 dibangun lagi Vihara Thay Hin Bio tersebut untuk beribadah sebagai ganti cetya yang hancur. Vihara ini direnovasi pada tahun 1963-1967.
Memasuki bangunan, ternyata vihara ini memiliki dua lantai. Lantai pertama dinamakan ruang Bhaktisala dan lantai kedua dinamakan ruang Dharmasala. Di pintu masuk saya melihat tabuh atau bedug besar seperti yang saya lihat di masjid, hanya saja saya langsung teringat dengan atraksi barongsai. Mungkin saja untuk perayaan imlek, pikir saya. Saya melihat pilar pilar besar yang bertuliskan huruf Hanzi, sayangnya saat itu saya yang sedang belajar Mandarin pun, belum bisa membaca huruf Hanzi. Sejauh yang saya tahu, pilar pilar di kelenteng atau vihara bertuliskan huruf Hanzi berupa syair Buddha Dharma. Tulisan tersebut berupa nasehat seperti tidak boleh merasa hidup sendiri, tidak boleh melihat orang lain menderita, harus saling membantu dan nasehat kehidupan lainnya. Tiang atau pilar biasanya berjumlah genap dan berdampingan yang memiliki makna keselarasan dalam kehidupan. Tiang yang bulat melambangkan kebulatan hati dan pikiran.
Selain altar Buddha, patung dewi Kwan Im, saya diajak oleh seorang bapak yang bersembahyang di sana untuk melihat Tiangou atau Thien Lou atau anjing langit, Pek Ho Kong atau harimau putih, ada juga dewa Toh Te Gong atau Pek Gong. Aroma dupa tercium begitu harum saat bapak itu bersembahyang di depan saya. Ia menghidupkan lilin lilin kecil di sekeliling patung patung di altar. Di beberapa sisi, saya juga melihat alat alat untuk sembahyang dan logistik vihara tertata rapih. Sangat nyaman, tenang, indah, rapih, itu kesan yang saya dapatkan saat memasuki vihara ini. Bahkan jika harus duduk berlama lama di dalam saya pun betah. Vihara ini terasa adem dan nyaman di dalam walau cuaca saat itu di luar begitu sangat panas. Saya bahkan hampir tidak mendengar suara deru kendaraan yang lalu lalang dari jalanan depan vihara saat berada di dalamnya.
Gimana teman teman? Menarik dan unik sekali bangunan ini, bukan? Serasa di Tiongkok, ala ala kolosal gitu, hehe… Mungkin itu saja yang bisa saya bagikan kepada teman teman kali ini. Harapan saya semoga bangunan vihara ini akan terus dipertahankan selalu untuk sembahyang umat Buddha dan Tridarma, pelestarian budaya dan bangunan sejarah.
Xiexie sudah mampir ya!
Bisa nonton videonya di bawah ini ya…
Komentar
Posting Komentar